(1) Alasan Terindah

Elegi Esok Pagi

(1) Alasan Terindah 

Begitu menumpuk tugas dari kampusku. Tak kusangka, bukan hal yang mudah melewati ini semua. Entah sudah berapa malam aku kurang tidur karena menyelesaikan paper dan aneka tugas lainnya.  Awalnya aku amat berbangga karena diterima di perguruan tinggi cukup bergengsi di negeri ini ; STAN – Sekolah Tinggi Akuntasi Negara. Namun jika kau tahu, kebanggaan itu hanya sekejap saja, karena sisanya, aku bahkan harus berjuang sekuat daya, agar tak sampai tereliminasi. Mengingat sistem gugur diterapkan di sini. Setiap mahasiswa yang diterima di sini tidak akan berada di zona aman hingga sebuah undangan wisuda sampai di tangan.

Dan yang kurasakan kapasitas otakku terasa menyempit saja. Ada saja hal-hal yang mengusik hariku. Entah masalah sepele yang terjadi dengan teman seasrama. Atau tekanan-tekanan lain yang menghimpitku secara perlahan. Sebersit kekhawatiran pun kadang berkeliaran di kepala. Akankah cita-citaku akan tercapai seluruhnya?

Ataukah hanya sepenggal cerita dan kelak takdir hidupku tercecer di tempat asing yang tak pernah kutahu?Ya Allah, jangan sampai terjadi. Orang tuaku di desa pasti akan tercoreng seketika jika sampai hal itu terjadi. Gelar juara pertama di kelulusan SMA tak dipungkiri adalah hal yang menambah kepercayaan diriku hingga sampai di tahap ini. Meski kadang aku bertanya pada diri ; benarkah itu alasan terbesar yang memberiku energi? Aku tidak yakin. Karena sejujurnya ada hal lain yang diam-diam kusimpan. Ya, gadis manis sahabat adikku bernama Rania salah satu alasan terbesarku.

Rania. Sungguh, dia sangat berbeda dengan gadis kebanyakan yang kukenal. Bukan sekadar raut wajah dan bening matanya yang sedap dipandang. Terlebih cara dia berbicara yang runut dan penuh percaya diri tapi jauh dari kesan ‘sombong’ adalah hal yang menjadikannya amat mempesona.Sepertinya dia selalu menguasai semua topik perbincangan. Mungkin karena banyaknya buku yang dia lahap sepanjang hari. Sekaligus membuang jauh sebuah persepsi bahwa kutu buku itu identik dengan kaca mata tebal bak tutup botol serta ekspresi wajah yang datar.

Maka hari itu aku mulai membuat sebuah kesimpulan ; bahwa ilmu yang melekat pada diri seseorang akan memperindah yang tampak di mata. Jika ia seorang wanita, ia pasti akan terlihat jauh lebih menarik dibanding mereka yang hanya mengandalkan anugerah kecantikan yang disematkanNya. Dan jika ia seorang pria, pastilah ia menjelma menjadi pribadi nan menawan.

Mengenang perkenalan pertama dengannya selalu membuatku gembira tak terkira. Sejenis rasa yang harus kututupi serapat mungkin, karena bisa-bisa dia memilih ‘balik kanan’ jika tahu kalau kakak sahabatnya ini diam-diam menyimpan sebuah harapan. Kabarnya, Rania terkenal gadis yang idealis dan mandiri. Mungkin karena dia mempunyai visi jangka panjang yang sudah ditetapkan. Kudengar dari adikku, dia berencana melanjutkan kuliah  jurusan ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta. Cita-cita setinggi bintang! Jurusan paling diperebutkan ketika itu. Konon banyak pakar ekonomi dan menteri “jebolan” perguruan tinggi tersebut. Ya, pasti kini dia tengah mengumpulkan amunisi untuk mencapainya.

Sejak saat itu, tanpa sepengetahuan siapa pun, aku mengumpulkan segala informasi tentangnya. Dan semakin kutahu, semakin memaksaku untuk menengok diri dan sederet tanda tanya menyusul satu per satu. Lantas dengan apakah kau kelak sanggup mendekatinya? Mampukah aku mengejarnya hingga ke kota ribuan kilometer di kejauhan sana? Jakarta. Ya, kota metropolitan yang lebih banyak dituju orang di desa kami untuk mengadu nasib.

Tentu biaya hidup di sana sangat mahal. Jika kuharus membiayai hidup sendiri, mampu bertahan hingga berapa bulan kiranya? Membayangkannya saja sudah rumit. Bapakku hanya seorang guru Sekolah Dasar yang merangkap sebagai petani.  Adikku yang berjumlah 3 orang sebentar lagi pun membutuhkan biaya pendidikan yang tidak sedikit. Beasiswa. Ya, tidak ada jalan lain kecuali aku mendapatkan beasiswa dari sebuah perguruan tinggi. Aku harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin perguruan tinggi mana saja yang akan menjadi pembuka jalanku. Jalur mana saja yang memungkinkanku mencobanya.

Telah kuutemukan sebuah cara yang mungkin bisa melapangkan jalan membela cita-citaku. Ya, tidak kupungkiri, Rania telah masuk dalam daftar ‘cita-cita masa depanku’. Cita-cita itu lalu kuselipkan dalam sebuah doa di sepanjang shalat malamku. “Ya Allah, dekatkan kami dengan cara yang kau perkenankan, dan berikan jalan untukku mencapai kebahagiaan yang nyata di hari depan. Tidak ada yang mustahil jika engkau mengijinkan.”

Suatu hari, kuberanikan berkunjung ke rumahnya. Rania adalah bungsu dari 3 bersaudara. Dua kakaknya telah menikah dan tinggal di Jakarta. Mungkin karena itulah ia memilih kota itu menjadi kota tujuan berikutnya.

Dia seperti kaget melihat kedatanganku. “Ohh.. aku kebetulan mau ke rumah paman. Jadi sekalian aja mampir ke rumahmu. Jadi ini kubawakan beberapa buku soal, mungkin berguna untuk menambah pengetahuan variasi soal….” Kuserahkan beberapa buku di tanganku. Kuatur ekspresi sedemikian rupa sehingga semuanya terlihat wajar.  Akan sangat memalukan jika aku, kakak kelasnya begitu grogi di depannya bukan?

Gadis itu menyambut dengan mata berbinar. “Wow,… Baik sekali Mas Tyo. Makasih banyak. Ini pasti bermanfaat banget. Ohya nanti boleh ya aku tanya-tanya kalau ada yang ga ngerti?”

Hatiku melonjak girang mendengar kalimat terakhirnya. Wah, usaha pertama mendapat hasil yang bahkan lebih dari yang kubayangkan. Ini strategi terbaik sebagai alasan kami bertemu dan berdiskusi di hari-hari mendatang. Peluang emas yang tak boleh kusia-siakan. Tak jadi soal jika topiknya sebatas rumus Pythagoras, hukum kekekalan massa atau pelajaran lainnya.  Pun tak jadi soal jika Endah, adikku ikut meriuhkan pertemuan kami, karena justru Rania akan merasa aman dan nyaman.

Berikutnya, seakan hanya ada kabar-kabar baik yang menghampiri. Sepertinya, semangat belajarku terpacu 200% setelah kejadian hari itu. Aku sudah tidak peduli dengan teman-teman sekelas yang semakin tertinggal jauh di belakang karena energi kemauan belajar yang sangat optimal yang kumiliki. Benarlah istilah yang sering kudengar bahwa cinta memiliki energi yang luar biasa yang bekerja pada hidup manusia. Ya, cinta yang tanpa kusadari telah berperan mencetak prestasi demi prestasi.

Benar bahwa Rania bahkan belum menyadari apa yang terjadi denganku. Yang dia tahu, kini ia dapat berbagi kakak dengan sahabat karibnya. Tidak apa, toh dia masih tetap menjaga prinsipnya untuk tidak menjalin hubungan dengan siapa pun juga sebelum ia meraih cita-citanya kan? Aku bisa cukup tenang dan menunda kesempatan terbaik untukku datang di hadapan.

Kabar terindah berikutnya adalah, aku diterima di STAN tanpa tes. Jalur PMDK telah mengantarkanku ke gerbang berikutnya. Takdir baik sepertinya tengah satu per satu menyapaku. Sepertinya bukan sekadar usaha terbaik yang telah kulakukan, terlebih karena doa-doa yang kunaikkan ke langit sana. Tak jarang di tengah malam aku keluar ke tengah halaman. Dan lirih suaraku seolah terdengar bergema di angkasa. Sebuah pinta kusebutkan kembali di hadapanNya : Ya Allah, tak ada yang mustahil jika Engkau memperkenankan. Lapangkan jalan mencapai segala rahasia yang kusimpan. Kini bacalah segala apa yang ada di sana, niscaya Engkau tahu semuanya, karena di hadapanMu, semua terang benderang. Karena kuyakin Engkau Maha Mengetahui segala sesuatu.

Bercerita padaNya di hadapan bintang-bintang adalah salah satu cara yang paling kusuka. Begitu damai, begitu terlepas semua kekhawatiran yang sering membelenggu. Apalagi jika khawatir akan masa yang akan datang. Cara inilah aku bisa berdamai dengan diriku sendiri setiap waktu.

Aku tersenyum membayangkan indahnya hari ketika kami dapat berbagi di tanah rantau kami tahun depan bersamanya. Semoga kau lolos UMPTN Rania!

( Bersambung)

 

Tags: Array

 

Tinggalkan komentar